Monday 3 June 2013

Fenomena Perempuan dan Media

Seperti hal nya Ibu kita Kartini, yang menjadi inspirator bagi kaum perempuan, dimana perempuan tak lagi berdiam diri dan diperlakukan budak oleh kaum pria. Paradigma dulu sudah sangat melekat dalam pikiran kaum perempuan bahwa ruang gerak mereka hanya terbatas pada dapur, mengurusi pekerjaan rumah dan berdiam diri, kini sudah mulai luntur dari zaman ke zaman. Terutama pada masyarakat modern diperkotaan, karena perempuan desa pun sekarang ini sudah memulai untuk mencari pekerjaan baik di desa maupun merantau ke kota. Maka tak heran pada zaman yang demokratis ini banyak perempuan yang berkarir diluar rumah. Mereka kini berani dan leluasa bekerja dibidang apapun. Karena mereka berpikir, sekarang adalah zaman yang bebas untuk melakukan apa saja. Karena mereka ingin setara dengan kaum pria.

Dewasa ini, ketika zaman sudah menjadi super demokratis, perempuan sudah menjadi daya tarik tersendiri. Perempuan kini makin dilirik oleh siapa saja. Selain pria, dibidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, bahkan di bidang politik, mereka sudah dilirik. Selain itu, perempuan pun sekarang sudah menjamah media, ini terbukti ketika media banyak sekali menayangkan perempuan khusunya berita. Bahkan perempuan pun ikut andil dalam pembuatan iklan. Banyak iklan yang menggunakan kaum perempuan untuk menarik perhatian para konsumtif. Mulai dari iklan deterjen, sabun mandi sampai iklan pakaian dll. Tak heran jika sekarang perempuan sudah mulai menyetarai status pria yang bisa bekerja dengan leluasa. Karena daya tarik dari sisi kaum perempuan ini, sudah bukan menjadi rahasia umum.

Tak dapat dipungkiri lagi, sekarang kaum perempuan sudah menjadi pasar potensial dalam media massa. Berita mengenai sisi perempuan dari segi manapun menarik untuk diberitakan, bahkan bisa meraup keuntungan untuk medianya. Dalam bidang media, perempuan ibarat sisi mata uang yang tak bisa di pisahkan, keduanya memiliki kaitan erat yang berjalin saling melengkapi.

Kaum perempuan pun banyak yang memanfaatkan jasa media massa untuk meningkatkan popularitasnya, sebaliknya media massa pun butuh sebuah “nuansa khas” dari seorang perempuan karena daya tariknya. yaitu  mulai dari sisi keberhasilan karir dan jabatannya, ketegarannya menyikapi sebuah persoalan besar, kenekadannya dalam melakukan sesuatu dan terakhir adalah keberaniannya untuk memperlihatkan auratnya. Setiap perempuan sebenarnya secara umum memiliki “rasa” yang sama dengan laki-laki yakni keinginan untuk terkenal, untuk mendapatkan banyak uang serta untuk menjadi terhormat.

Memang tidak mudah untuk bagi perempuan bekerja di media massa. Tantangan yang akan dihadapi sangatlah keras, ditambah lagi akan banyak kendala bila mereka tidak bisa mengelola waktu. Misalnya, jika kaum perempuan menjadi seorang wartawan, di dalam mencari berita, persaingan sangat ketat dan perlu usaha ekstra untuk bisa mendapatkan berita yang bagus serta layak untuk dimuat. Perlu juga perjuangan untuk bisa menulis tepat waktu dan tanpa mengenal batas waktu terutama pada saat dikejar deadline. Belum lagi lembur dan bahkan tidak pulang kantor dan masalah ini akan menimbulkan banyak masalah terutama bila pasangan atau keluarga di rumah tidak mengerti kondisi mereka.

Belum lagi yang menjadi seorang selebritis yang sering disorot dalam media, mereka tak akan lepas dari pemberitaan yang memang selalu menyoroti hal-hal negatif, seperti pemberitaan foto-foto fulgar, diterpa gosip, dan belum lagi dengan senang hati mereka akan membuka auratnya untuk menjadi daya dihadapan publik. Dalam iklan pun sama, mereka akan senang hati melakukan apa saja demi uang. Misalnya saja dalam iklan sabun mandi yang memperlihatkan sebagian anggota tubuh mereka. Mempertontonkan aurat perempuan karena alasan seni merupakan logika yang terasa dipaksakan, melainkan merupakan logika yang lebih banyak menikmati dunianya saja. Bukankah seni pada dasarnya berorientasi pada penciptaan keindahan sejati yang tidak didasarkan pada pikiran-pikiran murahan.

Teori feminisme pun menyatakan bahwa media massa diasumsikan sebagai alat utama untuk mendominasi dan menindas wanita, karena mereka tidak memfungsikan media massa sebagai media untuk pendidikan, tetapi lebih banyak pada orientasi bisnis semata. Kaum perempuan yang tidak bekerja di media pun sama hal nya dengan perempuan yang bekerja terlibat dengan media. Terbukti dalam banyak kasus diberita, mengenai perempuan menjadi berita yang banyak menyita perhatian. Misalnya, berita mengenai perkosaan, pencabulan, pelecehan dll, yang sempat menjadi headline berita di media massa. jika berita tersebut dikemas sesuai fakta tanpa mengandung unsur sensualitas, fulgar, memojokkan korbannya itu tidak masalah. Akan tetapi, terkadang media lebih mementingkan bagaimana berita tersebut dikemas menarik penonton, maupun pembacanya tanpa mempertimbangkan aspek sensitif gender pada berita yang disuguhkan.

Mau tidak mau begitulah kondisi media massa sekarang apalagi di Indonesia. Peremupan dan media sudah tak bisa dipisahkan lagi. Keduanya sudah menjadi pasangan serasi. Malah perempuan menjadi objek pertama yang dicari oleh media. Tak heran jika sekarang ini kita lebih sering melihat perempuan yang mewarnai media.

Terkait dengan hubungan media dan perempuan, media seakan-akan membentuk deskripsi sendiri mengenai konsep perempuan. Media membuat citra perempuan melalui sudut mereka yang dianggap komersil, entah mengacu pada realitanya atau karena mengacu pada pasar penonton ataupun pembaca. Contohnya pada tayangan sinetron. Perempuan selalu digambarkan mahluk yang lemah, korban dari ringan tangan lelaki, bodoh, tidak berani bersikap dan sebagainya. Semua serba dilebih-lebihkan. Dan seakan-akan masyarakat kita menyukai sesuatu yang berlebihan. Jarang sekali acara sinetron yang mengupas sisi perempuan dengan kenyataan yang ada.

Tayangan sinetron yang setiap hari ada dengan segala cerita dan penokohan yang penuh dramatisasi berlebihan dan kehidupan yang glamor tak biasa, iklan dikemas sedemikian rupa, hingga tidak masuk logika keterkaitan produk dengan deskripsi iklan yang disuguhkan. Justru esensinya tidak nyambung dengan produk yang ditawarkan sehingga menimbulkan deskripsi ambigu bagi penontonnya. Perempuan turut dijadikan alat penarik konsumen entah dari tampang, bentuk badan, suara mendesah dan sebagainya. Begitu pula penontonnya terutama perempuan menjadi objek potesial yang gampang dipengaruhi oleh berbagai produk iklan.

Kaum perempuan memang tidak akan pernah lepas dengan media massa saat ini, karena bagaimanapun mereka mempunyai daya tarik. Jika kita melihat dari masalah diatas, itu adalah sebagian masalah yang nanti akan diperoleh jika memang mereka mau seperti itu. Kita bisa melihat dari sisi lain hubungan kaum perempuan dan media yang dimana khususnya mereka bekerja dibidang tersebut. Misalnya bisa kita lihat, apapun dan bagaimanapun jurnalis perempuan, baik di media profit maupun di media non-profit, mereka adalah fenomena yang mengagumkan. Seperti dalam bidang apapun, para jurnalis perempuan selalu harus berjuang untuk dapat eksis dalam profesi mereka, baik secara struktur, isi maupun penampilan. Ada apa dengan jurnalis perempuan? Mereka sebagian besar adalah pembawa suara perubahan sosial menuju masyarakat yang berkeadilan gender.

Pemahaman sebagian orang tentang kaum perempuan seperti itu dengan media, sebagaimana telah dijelaskan diatas, itu hanya sedikit gambaran yang mungkin mereka harus berintropeksi diri. Karena bagaimanapun itu semua tergantung dari dirinya. Kalau memang mereka menginginkan derajat sama dengan kaum pria, itu memang tak mungkin. Karena bagaimanapun, derajat kaum pria lebih tinggi daripada kaum perempuan. Yang ada dengan mereka seperti itu, mereka bukan mendapatkan kehormatan, melainkan kemurahan.

Dengan demikian, dari masalah-masalah yang akan muncul, kaum perempuan yang bekerja dan berhubungan dengan media, haruslah siap dengan semua tantangan yang ada. Konsisten terhadap diri sendiri dan tidak mudah untuk terpengaruh karena ingin ketenaran, untuk demi uang semata dan untuk menyamakan status kaum pria. Apalagi jika sudah mempunyai pasangan dan keluarga, harus meninggalkan dan menelantarkannya.

Alternatif yang bisa dilakukan mereka demi mendapatkan status, ketenaran, dll yang berhubungan dengan media, salah satunya bisa dengan menjadi penulis lepas. Kenapa ? karena dengan menjadi penulis lepas, mereka tak perlu meninggalkan keluarga, tak perlu membuka aurat demi sebuah ketenaran dan menjadi daya tarik dll. Justru sangatlah mudah melakukannya, dan ketenaran pun bahkan uang akan didapat.
Kita bisa menulis kapan saja sesuka hati dan mengirimkannya ke media manapun dan uang pun didapat dengan hanya kita menulis saja tanpa membuka kehormatan kita. Karena bagaimanapun Perempuan adalah bukan sekedar wahana reproduksi untuk melahirkan. Tetapi mereka tiang tengah rumah sekaligus mereka dilahirkan untuk membuat kehidupan bernilai. Jika begitu, demi kemanusiaan lelaki cerdas pun akan setuju turut berjuang.

Dan untuk Industri media nya itu sendiri, seperti telivisi mestinya tidak hanya menjadi ikon hiburan yang banyak memikat minat penonton, dengan keuntungan media yang banyak, lebih dari itu peran edukasi media telivisi harus lebih dikedepannkan. Sekalipun menayangkan sinetron hiburan, harus lebih banyak edukasinya ketimbang adegan yang hanya hura-hura tanpa makna kehidupan yang mendidik bagi perempaun. Apalagi tayangan telivisi sampai mendiskriminasi perempuan dan membentuk stereotipe perempuan yang tidak baik. Tentu hal tersebut sangat mengancam masa depan perempuan Indonesia. Jadilah media yang menayangkan sesuai dengan kode etik.

0 comments:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Post a Comment