Seperti
hal nya Ibu kita Kartini, yang menjadi inspirator bagi kaum perempuan, dimana
perempuan tak lagi berdiam diri dan diperlakukan budak oleh kaum pria.
Paradigma dulu sudah sangat melekat dalam pikiran kaum perempuan bahwa ruang
gerak mereka hanya terbatas pada dapur, mengurusi pekerjaan rumah dan berdiam
diri, kini sudah mulai luntur dari zaman ke zaman. Terutama pada masyarakat
modern diperkotaan, karena perempuan desa pun sekarang ini sudah memulai untuk
mencari pekerjaan baik di desa maupun merantau ke kota. Maka tak heran pada
zaman yang demokratis ini banyak perempuan yang berkarir diluar rumah. Mereka
kini berani dan leluasa bekerja dibidang apapun. Karena mereka berpikir,
sekarang adalah zaman yang bebas untuk melakukan apa saja. Karena mereka ingin
setara dengan kaum pria.
Dewasa
ini, ketika zaman sudah menjadi super demokratis, perempuan sudah menjadi daya
tarik tersendiri. Perempuan kini makin dilirik oleh siapa saja. Selain pria, dibidang
ekonomi, pendidikan, kesehatan, bahkan di bidang politik, mereka sudah dilirik.
Selain itu, perempuan pun sekarang sudah menjamah media, ini terbukti ketika
media banyak sekali menayangkan perempuan khusunya berita. Bahkan perempuan pun
ikut andil dalam pembuatan iklan. Banyak iklan yang menggunakan kaum perempuan
untuk menarik perhatian para konsumtif. Mulai dari iklan deterjen, sabun mandi
sampai iklan pakaian dll. Tak heran jika sekarang perempuan sudah mulai
menyetarai status pria yang bisa bekerja dengan leluasa. Karena daya tarik dari
sisi kaum perempuan ini, sudah bukan menjadi rahasia umum.
Tak
dapat dipungkiri lagi, sekarang kaum perempuan sudah menjadi pasar potensial
dalam media massa. Berita mengenai sisi perempuan dari segi manapun menarik
untuk diberitakan, bahkan bisa meraup keuntungan untuk medianya. Dalam bidang
media, perempuan ibarat sisi mata uang yang tak bisa di pisahkan, keduanya
memiliki kaitan erat yang berjalin saling melengkapi.
Kaum
perempuan pun banyak yang memanfaatkan jasa media massa untuk meningkatkan
popularitasnya, sebaliknya media massa pun butuh sebuah “nuansa khas” dari
seorang perempuan karena daya tariknya. yaitu mulai dari sisi keberhasilan karir dan
jabatannya, ketegarannya menyikapi sebuah persoalan besar, kenekadannya dalam melakukan sesuatu dan terakhir adalah
keberaniannya untuk memperlihatkan auratnya. Setiap perempuan sebenarnya secara
umum memiliki “rasa” yang sama dengan laki-laki yakni keinginan untuk terkenal,
untuk mendapatkan banyak uang serta untuk menjadi terhormat.
Memang
tidak mudah untuk bagi perempuan bekerja di media massa. Tantangan yang akan
dihadapi sangatlah keras, ditambah lagi akan banyak kendala bila mereka tidak
bisa mengelola waktu. Misalnya, jika kaum perempuan menjadi seorang wartawan, di
dalam mencari berita, persaingan sangat ketat dan perlu usaha ekstra untuk bisa
mendapatkan berita yang bagus serta layak untuk dimuat. Perlu juga perjuangan
untuk bisa menulis tepat waktu dan tanpa mengenal batas waktu terutama pada
saat dikejar deadline. Belum lagi lembur dan bahkan tidak pulang kantor dan
masalah ini akan menimbulkan banyak masalah terutama bila pasangan atau
keluarga di rumah tidak mengerti kondisi mereka.
Belum
lagi yang menjadi seorang selebritis yang sering disorot dalam media, mereka
tak akan lepas dari pemberitaan yang memang selalu menyoroti hal-hal negatif,
seperti pemberitaan foto-foto fulgar, diterpa gosip, dan belum lagi dengan
senang hati mereka akan membuka auratnya untuk menjadi daya dihadapan publik. Dalam
iklan pun sama, mereka akan senang hati melakukan apa saja demi uang. Misalnya saja
dalam iklan sabun mandi yang memperlihatkan sebagian anggota tubuh mereka. Mempertontonkan
aurat perempuan karena alasan seni merupakan logika yang terasa dipaksakan,
melainkan merupakan logika yang lebih banyak menikmati dunianya saja. Bukankah
seni pada dasarnya berorientasi pada penciptaan keindahan sejati yang tidak
didasarkan pada pikiran-pikiran murahan.
Teori
feminisme pun menyatakan bahwa media massa diasumsikan sebagai alat utama untuk
mendominasi dan menindas wanita, karena mereka tidak memfungsikan media massa
sebagai media untuk pendidikan, tetapi lebih banyak pada orientasi bisnis semata. Kaum
perempuan yang tidak bekerja di media pun sama hal nya dengan perempuan yang
bekerja terlibat dengan media. Terbukti dalam banyak kasus diberita, mengenai
perempuan menjadi berita yang banyak menyita perhatian. Misalnya, berita
mengenai perkosaan, pencabulan, pelecehan dll, yang sempat menjadi headline
berita di media massa. jika berita tersebut dikemas sesuai fakta tanpa
mengandung unsur sensualitas, fulgar, memojokkan korbannya itu tidak masalah.
Akan tetapi, terkadang media lebih mementingkan bagaimana berita tersebut
dikemas menarik penonton, maupun pembacanya tanpa mempertimbangkan aspek
sensitif gender pada berita yang disuguhkan.
Mau
tidak mau begitulah kondisi media massa sekarang apalagi di Indonesia.
Peremupan dan media sudah tak bisa dipisahkan lagi. Keduanya sudah menjadi
pasangan serasi. Malah perempuan menjadi objek pertama yang dicari oleh media.
Tak heran jika sekarang ini kita lebih sering melihat perempuan yang mewarnai
media.
Terkait
dengan hubungan media dan perempuan, media seakan-akan membentuk deskripsi
sendiri mengenai konsep perempuan. Media membuat citra perempuan melalui sudut
mereka yang dianggap komersil, entah mengacu pada realitanya atau karena
mengacu pada pasar penonton ataupun pembaca. Contohnya pada tayangan sinetron.
Perempuan selalu digambarkan mahluk yang lemah, korban dari ringan tangan
lelaki, bodoh, tidak berani bersikap dan sebagainya. Semua serba
dilebih-lebihkan. Dan seakan-akan masyarakat kita menyukai sesuatu yang
berlebihan. Jarang sekali acara sinetron yang mengupas sisi perempuan dengan
kenyataan yang ada.
Tayangan
sinetron yang setiap hari ada dengan segala cerita dan penokohan yang penuh
dramatisasi berlebihan dan kehidupan yang glamor tak biasa, iklan dikemas
sedemikian rupa, hingga tidak masuk logika keterkaitan produk dengan deskripsi
iklan yang disuguhkan. Justru esensinya tidak nyambung dengan produk yang
ditawarkan sehingga menimbulkan deskripsi ambigu bagi penontonnya. Perempuan
turut dijadikan alat penarik konsumen entah dari tampang, bentuk badan, suara
mendesah dan sebagainya. Begitu pula penontonnya terutama perempuan menjadi
objek potesial yang gampang dipengaruhi oleh berbagai produk iklan.
Kaum
perempuan memang tidak akan pernah lepas dengan media massa saat ini, karena
bagaimanapun mereka mempunyai daya tarik. Jika kita melihat dari masalah
diatas, itu adalah sebagian masalah yang nanti akan diperoleh jika memang
mereka mau seperti itu. Kita
bisa melihat dari sisi lain hubungan kaum perempuan dan media yang dimana
khususnya mereka bekerja dibidang tersebut. Misalnya bisa kita lihat, apapun
dan bagaimanapun jurnalis perempuan, baik di media profit maupun di media
non-profit, mereka adalah fenomena yang mengagumkan. Seperti dalam bidang
apapun, para jurnalis perempuan selalu harus berjuang untuk dapat eksis dalam
profesi mereka, baik secara struktur, isi maupun penampilan. Ada apa dengan
jurnalis perempuan? Mereka sebagian besar adalah pembawa suara perubahan sosial
menuju masyarakat yang berkeadilan gender.
Pemahaman
sebagian orang tentang kaum perempuan seperti itu dengan media, sebagaimana
telah dijelaskan diatas, itu hanya sedikit gambaran yang mungkin mereka harus
berintropeksi diri. Karena bagaimanapun itu semua tergantung dari dirinya.
Kalau memang mereka menginginkan derajat sama dengan kaum pria, itu memang tak
mungkin. Karena bagaimanapun, derajat kaum pria lebih tinggi daripada kaum
perempuan. Yang ada dengan mereka seperti itu, mereka bukan mendapatkan
kehormatan, melainkan kemurahan.
Dengan
demikian, dari masalah-masalah yang akan muncul, kaum perempuan yang bekerja
dan berhubungan dengan media, haruslah siap dengan semua tantangan yang ada.
Konsisten terhadap diri sendiri dan tidak mudah untuk terpengaruh karena ingin
ketenaran, untuk demi uang semata dan untuk menyamakan status kaum pria.
Apalagi jika sudah mempunyai pasangan dan keluarga, harus meninggalkan dan
menelantarkannya.
Alternatif
yang bisa dilakukan mereka demi mendapatkan status, ketenaran, dll yang
berhubungan dengan media, salah satunya bisa dengan menjadi penulis lepas.
Kenapa ? karena dengan menjadi penulis lepas, mereka tak perlu meninggalkan
keluarga, tak perlu membuka aurat demi sebuah ketenaran dan menjadi daya tarik
dll. Justru sangatlah mudah melakukannya, dan ketenaran pun bahkan uang akan
didapat.
Kita bisa menulis kapan saja sesuka hati dan mengirimkannya ke media
manapun dan uang pun didapat dengan hanya kita menulis saja tanpa membuka
kehormatan kita. Karena
bagaimanapun Perempuan adalah bukan sekedar wahana reproduksi untuk melahirkan.
Tetapi mereka tiang tengah rumah sekaligus mereka dilahirkan untuk membuat
kehidupan bernilai. Jika begitu, demi kemanusiaan lelaki cerdas pun akan setuju
turut berjuang.
Dan
untuk Industri media nya itu sendiri, seperti telivisi mestinya tidak hanya
menjadi ikon hiburan yang banyak memikat minat penonton, dengan keuntungan
media yang banyak, lebih dari itu peran edukasi media telivisi harus lebih
dikedepannkan. Sekalipun menayangkan sinetron hiburan, harus lebih banyak
edukasinya ketimbang adegan yang hanya hura-hura tanpa makna kehidupan yang
mendidik bagi perempaun. Apalagi tayangan telivisi sampai mendiskriminasi
perempuan dan membentuk stereotipe perempuan yang tidak baik. Tentu hal
tersebut sangat mengancam masa depan perempuan Indonesia. Jadilah media yang
menayangkan sesuai dengan kode etik.
0 comments:
Post a Comment