Matahari
memancarkan sinarnya begitu terik, sinarnya begitu menyengat tubuh dan mata.
Menelusuri jalan untuk sampai ke Kampung Adat Ciptagelar, membuat anggota tubuh
lelah. Karena untuk sampai pada tujuan, harus menempuh perjalanan kurang lebih
8 hingga 9 jam dari Bandung. Bayangkan saja, lelah bukan?
Ya
kampung adat ciptagelar terletak di desa sirnaresmi, Cisolok Kab. Sukabumi.
Untuk sampai kesana, bus yang saya tumpangi bersama kawan-kawan berangkat dari
Bandung pukul 2 pagi dan sampai ditempat tujuan pukul 11 pagi. Perjalanan
dimulai dari bus melewati kota Cianjur kemudian Sukabumi hingga sampai ke
Pelabuhan Ratu. Belumlah sampai, bus yang saya tumpangi harus melakukan
perjalanan lagi hingga sampai kesana. Ya kira-kira 3-4 jam. Jalan yang anda
tempuh ini adalah jalur paling terdekat sekalipun harus menempuh aneka
rintangan, seperti tanjakan dan turunan curam.
Jalan
yang berkelok-kelok cukup membuat pusing dan mual, tapi itu semua terobati oleh
pemandangan alam yang disuguhkan. Di kiri kanan jalan
terlihat hamparan pohon yang menghijau menutupi area perbukitan yang terhampar
sejauh mata memandang. Hutan, pegunungan, kebun teh dll membuat mata tak bisa
berpaling. Apalagi ketika sampai di Pelabuhan Ratu, anda akan disuguhkan oleh
pantai yang indah membentang luas dan deburan ombak saling
kejar menampilkan buih putih menuju pantai yang memikat hati.
Ketika
anda memasuki kawasan Cisolok yang akan menuju ke kampung tersebut, disepanjang
jalan anda juga akan menemukan hamparan tanaman padi dan jagung pun seakan siap
memberikan keindahan bagi Anda. Dan ketika sampai di desa sirnaresmi, yang akan
anda nikmati adalah jalanan yang terjal dan berbatu licin yang membuat
adrenalin anda naik. Karena hujan mengguyur membasahi jalanan berbatu sehingga
membuat licin. Saya terpaksa berjalan kaki bersama kawan-kawan untuk sampai di
kampung Ciptagelar karena bus yang kami tumpangi, tak bisa masuk. Untuk pejalan
kaki membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit untuk sampai di gerbang kampung
adat Ciptagelar, dan untuk kendaraan membutuhkan waktu kurang lebih 5 menit.
Ketika
saya sampai di gerbang kampung tersebut, saya bersama teman-teman disambut
hangat oleh sebagian masyarakat yang tinggal disana. Sambutan hangat itu
membuat kami betah berlama-lama disana. iringan musik dan tarian dari sebagian
masyarakat sangatlah membuat hati tersentuh dan membuat takjub, dan begitu ramahnya mereka menyambut kami.
Suasana
pedesaan yang penuh dengan kebudayaan sunda, sudah bisa saya rasakan ketika
saya masuk ke kampung tersebut. Mata tertuju pada bangunan rumah yang masih
sangat tradisional yang terbuat dari bambu, kayu, pohon kelapa, Ijuk (sebagai
atap) dan lain-lain. Rumahnya dibangun dengan konsep panggung. Dan terdapatnya Imah
Gede (Rumah Besar), yang juga merupakan tempat tinggal Pupuhu Adat dan
keluarganya, sekaligus menjadi pusat
dari semua acara-acara komunal Kasepuhan, aktivitas sehari-hari
masyarakat Kasepuhan.
Unik,,
ya memang unik kampung ini, selain masih mempertahankan budaya sunda tak lain
adalah budaya mereka sendiri, kampung tersebut sangatlah membuka diri terhadap
orang luar. Ini terbukti dengan banyaknya kunjungan dan
kerjasama antara pemerintah dengan warga desa tersebut. Penyuluhan yang
dilakukan oleh pemerintah pun kerap digalakkan untuk mengembangkan di berbagai
sektor khususnya sektor pertanian yang dinilai sangat maju. Sehingga masyarakat
dan Kepala suku pun terbuka terhadap program-program pemerintah selama tidak mengganggu
adat istiadat.
Kampung
ini terbuka dengan siapa saja yang mau berkunjung ke kampung tersebut, karena
sistem paguyuban menjadi sistem kekerabatan masyarakat. Mereka menggunakan
sistem komunikasi dua tahap yakni melalui opinion leader dan dilain pihak
mereka memperoleh informasi melalui media massa seperti televisi dan radio, Hp
dan Internet sudah digunakan sebagian masyarakat, termasuk kepala suku. Jadi
tak perlu cemas bila anda ingin berkunjung ke kampung ini.
Kampung
adat Ciptagelar ini adalah kampung yang masih kental dengan adat istiadatanya. Salah
satunya adalah, masyarakat kampung tersebut menganggap bahwa “jika kita makan,
maka nasi yang kita makan tak boleh ada yang tersisa, karena nasi menurut
mereka adalah Dewi Padi. Padi menempati makna penting bagi masyarakat kampung
tersebut. Hasil bumi yang sangat diagungkan, menjadi culture interest dari semua sistem nilai, norma dan aktivitas sehari-hari
masyarakat Kasepuhan. Sebuah simbol kehidupan dan kesuburan yang memerlukan
sekian bentuk dan tahapan ritual penghormatan, dari saat menanam hingga hingga
panen. Padi disamakan seperti juga makhluk hidup dan selayaknya diperlakukan
sama dengan manusia.
Di
kampung tersebut pula, kami menemukan bangunan kecil yang tak lain adalah
Leuit. Leuit adalah rumah padi, bangunan panggung berbentuk segi lima. Hampir
setiap rumah memiliki leuit untuk menyimpan padi hasil panen. Terdapat dua
macam peruntukan leuit. Leuit Si Jimat merupakan hak milik Abah, sedangkan
Leuit Adat Kasepuhan diperuntukkan untuk incu putu (keturunan atau warga
kasepuhan). Warga menyisihkan dua pocongan dari hasil panen untuk disimpan di
Leuit Adat Kasepuhan. Leuit merupakan cara mengatur kesediaan bahan pangan dari
masyarakat Kasepuhan yang berada di tengah gunung.
Kemudian
adat istiadat yang bisa ditemui di kampung ini adalah Ritual Seren Taun (panen
raya) yang dimana merupakan puncak dari pembudidayan padi masyarakat yang
ditandai dengan Upacara Ngadiukeun, atau memasukkan dan mendudukkan ikat padi
secara simbolik ke lumbung keramat Leuit si Jimat. Masing – masing keluarga
menyimpan satu pocongan padi ke dalam leuit si Jimat. Prosesi ini dimulai
melalui pembacaan doa dan mantra melalui pantun seloka yang pada intinya
mensyukuri atas restu alam semesta dan leluhur. Praktiknya, Seren Taun
merupakan upacara penyerahan hasil bumi berupa padi yang dihasilkan dalam kurun
waktu satu tahun untuk disimpan ke dalam leuit. Upacara ini berawal dari
pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Sri, Dewi Padi dalam kepercayaan Sunda
kuno. Bagi masyarakat Kasepuhan, upacara Seren Taun bukan sekadar tontonan,
melainkan juga tuntunan.
Hal
unik lainnya ketika mereka melakukan upacara kematian, yang dimana tradisi pada
orang yang meninggal dilaksanakan lebih apik dan rapi diaman keranda mayat
hanya digunakan sekali saja oleh orang yang meninggal, kemudian ditinggalkan di
makam orang yang meninggal tersebut. Keranda tersebut dibuat dari bambu.
Masyarakat menganggap keranda merupakan kendaraan terakhir seseorang, jadi
hanya diperbolehkan digunakan sekali saja. Dan sama seperti umumnya,
dilaksanakan juga Tiluna, Opatna, limana, Tujuhna dan seterusnya.
Nah,
anda juga bisa berkeliling di kampung ini untuk menyaksikan dan merasakan
bagaimana kehidupan masyarakat adat Kampung tersebut. Namun yang pasti Anda
jangan coba-coba berlaku kurang ajar atau di luar norma masyarakat Kampung
Adat.
Anda
tertarik? Silahkan datang ke Kampung Ciptagelar. Karena saya pun masih tertarik
untuk mengunjungi kampung tersebut. Karena anda akan mendapatkan pengalaman
yang luar biasa yang tak akan anda bisa lupakan, seperti saya yang sudah mengunjungi kampung tersebut.
*salah satu kesenian tradisional kampung Ciptagelar |
*mesjid di kampung Ciptagelar |
*Leuit (rumah padi) |
3 comments:
:d: mantap gan
Boleh minta info kalau kesana kita bisa menumpang singgah di rumah siapa? Apakah tempat kita menginap di tentukan oleh mereka?
Boleh minta info kalau kesana kita bisa menumpang singgah di rumah siapa? Apakah tempat kita menginap di tentukan oleh mereka?
Post a Comment